Kamis, 04 April 2013

Sistem Pendidikan Perlu Diubah


Sistem Pendidikan Perlu Diubah 
             Sistem pendidikan masa kini perlu diubah untuk menyiapkan generasi muda yang siap menyongsong perubahan dunia yang begitu cepat.
Pendidikan harus mampu membuat anak menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dalam kaitan dengan ujian
        Pendidikan perlu menyeimbangkan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dengan tetap memegang nilai-nilai tradisional yang relevan dan modern. Persoalan tersebut mengemuka dalam dialog-dialog di acara World Innovation Summit for Education (WISE) ke-4 di Doha, Qatar, yang berakhir pekan lalu.
Dalam menghadapi perubahan pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda dunia yang lebih baik, seruan saling belajar, berbagi, dan bekerjasama di antarorganisasi dan negara mencuat.
Mona Mourshed, Partner and Leader, Global Education Practice McKinsey and Company, mengatakan dunia pendidikan terus menghadapi tantangan soal belum sinkronnya lulusan dengan pasar tenaga kerja yang tersedia. Dunia pendidikan belum dikatakan berhasil jika hanya membuat lulusannya bisa bekerja begitu lulus.
“Yang penting apakah lulusan itu bisa membangun karirnya, bukan sekadar bekerja,” kata Mona. Dalam upaya menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja, kata Mona, di banyak tempat terkendala kurangnya kesempatan magang bagi siswa/mahasiswa.
Untuk itu, perlu dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi siswa/mahasiswa untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja.
Sementara itu, Aicha Bah Diallo, Ketua Forum Perempuan Pendidik Afrika, mengatakan perlu dikaji kembali apakah sistem pendidikan saat ini membuat anak-anak benar-benar belajar serta guru benar-benar termotivasi.
       “Pendidikan harus mampu membuat anak menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dalam kaitan dengan ujian,” kata Aicha, tes jangan justru jadi salah bentuk kekerasan pada siswa.
“Tes dalam pendidikan harus dikembangkan dengan tujuan untuk membuat potensi siswa berkembang, bukan malah untuk menghukum siswa tidak lulus,” kata Aicha. Conrad Wolfram, Ahli Matematika, mengatakan pendidikan perlu didekatkan dengan realitas keseharian. Dalam pembelajaran Matematika, misalnya, pendidikan tidak semata untuk mmebuat siswa mampu menghitung.
“Dengan perkembangkan teknologi, menghitung sudah bisa dilakukan dengan komputer. Tetapi dalam pendidikan Matematika, justru dipakai bagaimana mmebuat siswa mampu memecahkan masalah. Perlu perubahan dalam belajar Matematika saat ini,” kata Conrad.
Peter Thiele, pejabat di Kementerian Pendidikan dan Penelitian Jerman, mengatakan pendidikan menyeimbangkan antara kebutuhan akademik dan keterampan untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan ke depan tidak hanya mengejar pendidikan tinggi akademik, tetapi juga vokasi. “Pendidikan menyiapkan generasi yang mampu berpikir kritis, analistis, dan kretaif. Pendidikan mesti difokuskan untuk hal-hal yang berguna,” kata Peter. Secara terpisah, Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional yang hadir dalam WISE, di Jakarta, Senin (19/11/2012), mengatakan Indonesia menghadapi tantangan dalam sistem pendidikan yang masih belum menyiapkan siswa yang mampu berpikir tinggi dan relevan dengan kehidupan. Hal ini utamanya karena mutu guru dan pembelajarannya yang masih belum sesuai harapan.
Fasli mengatakan dari penelitian Bank Dunia baru-baru ini soal guru Indonesia, pelaksanaan sertifikasi memang belum mampu meningkatkan mutu guru dan perubahan dalam pembelajaran yang lebih bermakna.
          Masalah mendasar pendidikan Indonesia justru terjadi di ruang-ruang kelas, di mana guru sebagai yang utama belum dapat mendidik dengan baik.
“Guru-guru Indonesia umumnya lebih mengedepankan keterampilan tingkat belajar tingkat rendah, seperti menghafal. Makna pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari belum bisa dikaitkan. Termasuk juga guru masih belum bisa membuka diir terhadap beragam alternatif jawaban,” kata Fasli.
Menurut Fasli, perlu pembenahan serius soal guru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan guru bermutu, loncatan perubahan pendidikan Indonesia bisa cepat, terutama untuk mengembangkan pendidikan yang menyiapkan anak-anak siap memasuki kehidupan masa depan dengan perubahan teknologi yang tinggi.

Pelajaran Agama Bertambah Menjadi Empat Jam


Pelajaran Agama Bertambah Menjadi Empat Jam       Pelajaran agama di berbagai sekolah pada kurikulum 2013 bertambah menjadi empat jam dari sebelumnya dua jam. Dengan itu, guru diharapkan mempunyai waktu yang cukup untuk mengajarkan agama sehingga dapat meningkatkan kualitas akhlak anak didik.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Pusat Informasi dan Kehumasan
Kementerian Agama, Zubaidi ketika menerima para mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Agama Islam dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Operation Room Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (12/02). Dalam kesempatan itu, Kapinmas didampingi oleh Kasubdit Akademik Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Dr. Mohammad Zein.
Menurut Zubaidi, kurikulum pendidikan seperti bak besar yang dapat menampung berbagai usulan materi pelajaran bagi siswa. Bisa saja masuk ke kurikulum sekolah pelajaran anti-korupsi, pelajaran pendidikan bank syariah, dan lainnya. “Termasuk pendidikan agama dan keagamaan,” kata Zubaidi.
Usulan yang masuk itu, lanjut Zubaidi, baik yang menyangkut penyampaian materi
maupun berapa jam lamanya, tergantung pada Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Kemenag melalui Dirjen Pendidikan Islam hanya menyampaikan usulan bersama Kemendikbud.
“Kemenag selalu berkoordinasi dengan Kemendikbud dalam hal ini,” jelas Zubaidi.
Tentang penambahan jumlah jam ini, lanjut Zubaidi, masih terjadi pro kontra. Sebagian kalangan menganggap bahwa jumlah jam itu penting, namun yang terpenting adalah bagaimana pengkondisian dan penanaman nilai-nilai keagamaan kepada siswa. Sementara sebagian yang lain memandang bahwa jumlah jam pelajaran menunjukan seberapa penting kita menempatkan pendidikan agama di sekolah.
“Struktur kurikulum ditetapkan oleh BSNP. Namun, Kemenag concern, berharap, dan terus mendesak agar ada penambahan jumlah jam pelajaran agama,” tegas Zubaidi.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 1 jam lebih itu, Zubaidi juga menjelaskan berbagai persoalan pendidikan agama. Sebanyak 75 mahasiswa yang seluruhnya mengambil jurusan pendidikan agama Islam, menyimak dengan baik. Dari berbagai pertanyaan, Zubaidi sempat menjelaskan bahwa guru kini menempati peran dan posisi yang strategis.
“Guru yang baik adalah yang memberi keteladanan, baik perbuatan maupun
perkataanya. Sebab, watak dan perbuatan guru akan selalu diingat oleh
para muridnya dalam kehidupan keseharian,” ujar Zubaidi.
Sementara itu, Mohammad Zein berpesan bahwa para mahasiswa perlu mengembangkan kemampuan dalam wirausaha. Pasalnya, selain dunia kerja, para sarjana juga ditantang untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sejalan dengan itu, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) sekarang sedang mengembangkan program Gerakan Kewirausahaan Nasional. Gerakan ini merupakan hasil kerjasama antara Kementerian Agama dengan Kementerian UKM. “Jangan berharap menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena itu, perkuat juga wawasan wirausaha. Sarjana tidak selalu menjadi pegawai negeri,” tutup Zen.

Pendidikan Jujur yang Membebaskan

          Apa yang bisa mengguncang institusi pendidikan prestisius? Ternyata bukan nilai, sarana-prasarana, atau dana, tapi ketidakjujuran.
Itulah yang terjadi di Universitas Harvard, AS, yang prestisius itu. Baru-baru ini Harvard terguncang hebat oleh skandal ”nyontek” yang melibatkan sekitar 125 mahasiswa dalam mata kuliah pemerintahan.
Pendidikan Jujur yang MembebaskanSesungguhnya penulis rindu guncangan semacam itu juga terjadi dalam pendidikan kita. Guncangan karena skandal ”nyontek” justru menunjukkan penyelenggara pendidikan teguh memperjuangkan martabatnya. Kejujuran harga mati, martabat, sekaligus roh pendidikan. Sebaliknya, menutup-nutupi fakta ketidakjujuran dan beragam dinamika pendidikan manipulatif tindakan pembusukan dunia pendidikan dan penghancuran bangsa.

Alasan mencontek
Ada banyak alasan mengapa siswa/mahasiswa mencontek. Pada kasus Harvard, pencontek- an dilakukan puluhan atlet universitas itu. Diduga, seperti banyak perguruan tinggi lain, Harvard memberikan keringanan bagi para atlet mahasiswa. Dalam konteks ini, mencontek terjadi karena pencontek tak ada di tempat belajar yang tepat. Pembelajar harus mempertimbangkan kultur dan dinamika tempat belajarnya agar terhindar dari tekanan terlampau tinggi karena tuntutan institusi pendidikan di luar kemampuannya. Sekolah/universitas yang ”bagus dan baik” belum tentu berguna bagi semua pembelajar.
Tekanan yang terlampau berat juga terjadi karena tuntutan prestasi/nilai. Tuntutan itu bisa datang dari orangtua atau lembaga. Sesungguhnya tak selalu salah menuntut pembelajar mendapat prestasi tinggi asal lembaga pendidikan sungguh-sungguh menekankan dan menghargai proses. Nalarnya: kalau semua proses pendidikan berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan, nilai/prestasi yang baik akan terjadi dengan sendirinya.
Sayangnya, pendidikan kita telah mengabaikan proses. Akibatnya sebagian besar pembelajar di negeri ini tak memiliki kepercayaan diri. Ketika penulis bertanya kepada para murid tentang alasan mereka sulit mengendalikan dorongan spontan untuk tidak mencontek adalah nihilnya kepercayaan diri. Sejak SD mereka tak pernah mengalami nikmatnya belajar, indahnya belajar dengan menekuni proses. Lebih parah lagi, guru mereka tak banyak menghargai, apalagi mengajarkan proses belajar.
Kita bisa memahami pengakuan para murid itu ketika menyadari rendahnya kompetensi guru. Kian jarangnya digunakan soal-soal uraian dalam ujian adalah petunjuk lain. Pragmatisme pembelajaran yang berjiwa hedonis dengan menjadikan nilai ujian sebagai penentu prestasi pantas kita pertimbangkan juga. Padahal, banyak pembelajar sesungguhnya unggul dalam mengerjakan tugas harian (proses), tetapi ringkih saat ujian karena kurang percaya diri. Di sini kita mestinya sadar, para pencontek itu adalah korban dinamika pembelajaran yang pragmatis-hedonis, mengabaikan proses, tidak transparan dan akuntabel.
Kita juga mesti merenung jujur: tidakkah dinamika pendidikan yang begitu memuja pencitraan dan beragam tindakan manipulatif hanya akan melahirkan generasi pencontek? Apalagi bila dinamika semacam itu justru difasilitasi dan dimobilisasi lembaga pemerintahan-negara. Itu sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, sistematis, dan kejam, tetapi terjadi dalam sunyi. Lebih parah lagi, ini efektif menghancurkan eksistensi bangsa kita karena pada saatnya negeri ini akan diurus generasi nihil kepercayaan diri.

Pembelajar jujur
Pendidikan jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Pendidikan jujur meniscayakan dinamika pembelajaran yang menekankan dan menghargai proses, transparan, serta akuntabel. Dinamika pendidikan semacam itu membantu pembelajar mengalami apa yang oleh Paulo Freire disebut humanisasi.
Dalam humanisasi, manusia dibantu menyadari keterbatasannya dengan praksis. Pendidikan yang menekankan dan menghargai proses membantu pembelajar menyadari keterbatasannya hingga sanggup mengatasi situasi yang membatasinya itu.
Karena itu, pembelajar perlu dibantu memilih institusi belajar yang memiliki kultur dan dinamika pembelajaran yang cocok baginya. Tujuannya agar pembelajar mampu berproses. Ia mampu nyaman dengan dirinya, menentukan target prestasi yang terukur, serta melakukan dinamika proses pembelajaran yang unik untuk mencapai target itu. Pada akhirnya ia terbantu untuk memiliki banyak pengalaman sukses dan melampaui keterbatasan-keterbatasan yang disadarinya. Inilah jalan melahirkan generasi berkarakter dan jujur.
Beragam pencitraan dan kastanisasi pendidikan yang memengaruhi perekrutan pembelajar perlu dipertimbangkan. Institusi pendidikan sebaiknya merekrut mereka yang mampu belajar sesuai kultur institusinya. Sekolah/ universitas dibangun untuk pembelajaran, bukan gerombolan.

Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia


 Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia           Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan, sementara Inggris menempati posisi keenam.
Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan.
Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan tabel liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan, seperti jumlah orang yang dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas.
Gambaran perpaduan itu meletakkan Inggris dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan tes Pisa dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang juga merupakan salah satu tes dalam proses penyusunan peringkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam peringkat ini diproduksi untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit.
Kompetisi global

Dua kekuatan utama pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan, lalu diikuti oleh tiga negara di Asia, yaitu Hongkong, Jepang, dan Singapura.
Inggris yang dianggap sebagai sistem tunggal juga dinilai sebagai “di atas rata-rata”, lebih baik daripada Belanda, Selandia Baru, Kanada, dan Irlandia. Keempat negara itu juga berada di atas kelompok peringkat menengah termasuk Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis.
Perbandingan ini diambil berdasarkan tes yang dilakukan setiap tiga atau empat tahun di berbagai bidang, termasuk matematika, sains, dan kesusasteraan serta memberikan sebuah gambaran yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah memberikan pandangan multidimensi dari pencapaian di dunia pendidikan dan menciptakan sebuah bank data yang akan diperbaharui dalam sebuah proyek Pearson bernama Learning Curve.
Melihat dari sistem pendidikan yang berhasil, studi itu menyimpulkan bahwa mengeluarkan biaya adalah hal penting, tetapi tidak sepenting memiliki budaya yang mendukung pendidikan. Studi itu mengatakan, biaya adalah ukuran yang mudah, tetapi dampak yang lebih kompleks adalah perilaku masyarakat terhadap pendidikan, hal itu dapat membuat perbedaan besar.
Kesuksesan negara-negara Asia dalam peringkat ini merefleksikan nilai tinggi pendidikan dan pengharapan orangtua. Hal ini dapat menjadi faktor utama ketika keluarga bermigrasi ke negara lain, kata Pearson.
Ada banyak perbedaan di antara kedua negara teratas, yaitu Finlandia dan Korea Selatan, menurut laporan itu, tetapi faktor yang sama adalah keyakinan terhadap kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan dan “tujuan moral”.
Kualitas guru

Laporan itu juga menekankan pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji.
Peringkat itu menunjukkan bahwa tidak ada rantai penghubung jelas antara gaji tinggi dan performa yang lebih baik. Dan ada pula konsekuensi ekonomi langsung atas sistem pendidikan performa tinggi atau rendah, kata studi itu, terutama di ekonomi berbasis keterampilan dan global. Namun, tidak ada keterangan yang jelas mengenai pengaruh manajemen sekolah dengan peringkat pendidikan.
Peringkat untuk tingkat sekolah menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan memiliki pilihan tingkat sekolah terendah. Namun, Singapura yang merupakan negara dengan performa tinggi memiliki tingkat tertinggi.

Sabtu, 23 Maret 2013

Artikel pendidikan bangsa

Tentang Pendidikan Karakter Bangsa

.
.
Artikel Pendidikan - Tentang Pendidikan Karakter Bangsa

          Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

            Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

           Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.


        Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

      Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan.Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

          Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

         Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
 
Demikian artikel ini saya buat,semoga bermanfaat...:)

Artikel Pendidikan: Hakikat Pembelajaran

             Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru, instruktur atau pembelajar dengan tujuan untuk membantu siswa (Setyosari; 2003: 6). Senada dengan hal itu juga diungkapkan oleh Degeng (1998), bahwa pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa, secara khusus pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan oleh guru, instruktur, pembelajar dengan tujuan untuk membantu siswa atau peserta didik.
Menurut Muhaimin (1996: 99), pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa/peserta didik untuk belajar. Kegiatan ini akan mengakibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara lebih efektif dan efisien.
           Sedangkan menurut Hamalik Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran. (Hamalik, 2003: 57).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha manusia yang dilakukan dengan tujuan untuk membantu menfasilitasi belajar orang lain.
Manusia terlibat dalam sistem pengajaran yang terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.
            Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik.
Madrasah tidak ubahnya sebagai intitusi atau lembaga. Sebagai sebuah lembaga, madrasah mengembang misi tertentu yaitu melakukan proses pendidikan, proses sosialisasi, dan proses transformasi anak didik, dalam rangka mengatarkan mereka siap mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya. Sebagai institusi atau lembaga madrasah menyelenggarakan berbagai aktivitas pembelajaran yang melibatkan berbagai macam komponen, sehingga menuntut adanya manajemen pembelajaran yang baik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dan institusional madrasah.
Secara garus besar aktivitas pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (MI), baik negeri maupun swasta dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, aktivitas pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), pembelajaran Eksakta (Sain&Matematika), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Alam (IPA), pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes), pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes). Kedua, aktivitas pembelajaran ekstrakurikuler, seperti kegiatan pramuka, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), olah raga, kesenian. Ketiga, aktivitas pembelajaran lainnya seperti upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap hari senin dan senam pagi. Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut harus memiliki tujuan kurikuler. Namun semua aktivitas      pembelajaran harus dipadukan sedemikian rupa dan diarahkan pada pencapaian tujuan, tepatnya tujuan Madrasah Ibtidaiyah (MI). demikian pula, agar aktivitas pembelajaran antara yang satu dan lain tidak terjadi tumpang tindih, maka dibutuhkan manajemen pembelajaran yang baik (Bafadhal, 2003: 53).


http://kabar-pendidikan.blogspot.com
Ping your blog, website, or RSS feed for Free

Hubungan Belajar, Pembelajaran, dan Hasil Belajar

Belajar diartikan sebagai suatu perubahan individu karena pengalaman (Slavin, 1994:98). Perubahan ini disebabkan oelh perkembangan yang bertahap dalam belajar. Sedangkan Sadirman (1990) mendefinisikan belajar sebagai suatu usaha seseorang secara aktif dan sadar untuk melakukan perubahan menuju kesempurnaan terhadap dirinya. Definisi tersebut mengandung makna bahwa dalam belajar dibutuhkan aktivitas sadar sebab berarti melakukan perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.

Lebih lanjut Benjamin S.Bloom (1990:1) mendefinisikan belajar sebagai proses dimana otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap kondisi-kondisi luar dan reaksi-reaksi itu dapat dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman yang dialami sebelumnya. Bila kondisi lingkungan belajar kondusif maka respon yang diberikan siswa akan menunjukkan bahwa kegiatan belajar mengajar lebih efektif. Respon tersebut berupa aktivitas belajar positif selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga hasil belajar akan tercapai dengan baik.

Kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada keberhasilan tujuan, sangat memerlukan aktivitas siswa sebagai subjek didik yang mempunyai potensi dan energi untuk melaksanakan kegiatan belajar atas bimbingan guru (Sardiman, 1990:97). Dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan sebagai fasilitator dan motivator untuk menciptakan lingkungan pembelajaran kondusif agar siswa dapat belajar lebih efektif, sebab lingkungan belajar kondusif sangat diperlukan siswa agar lebih berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian belajar akan tercapai dengan baik yang ditandai adanya perubahan tingkah laku dan peningkatan hasil belajar.

Namun mengingat kondisi siswa yang sangat heterogen di dalam kelas, muncul karakteristik siswa yang berbeda-beda. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat bagi guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Perbedaan karakterristik siswa dalam pembelajaran sering menimbulkan kesenjangan di antara siswa, sehingga mereka cenderung membuat kelompok dengan teman sebayanya yang mempunyai kesamaan minat dan potensi.

Terdapat kecenderungan bahwa siswa lebih mudah menerima dan memahami informasi dari teman sebayanya disebanding dari orang lain termasuk guru (Arikunto, 1996:62). Siswa merasa malu untuk bertanya atau memberikan pendapat selama proses belajar mengajar. Akibatnya proses belajar tampak pasif. Oleh karena itu guru perlu mengupayakan pembaharuan dalam pengelolaan kelas, salah satunya adalah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif.

PENJARINGAN 7 BESAR MIPA SD


 Pelaksanaan penjaringan peserta Olimpiade MIPA SD yang akan mewakili Kabupaten Karangasem pada tahun 2013 ini dilaksanakan dari tanggal 15 sampai dengan 19 Maret 2013 yang dipusatkan di Losmen Kembang Remaja Amlapura. Peserta seleksi diikuti oleh 50 orang siswa, 25 orang peserta Matematika dan 25 orang peserta IPA.  Peserta seleksi yang berjumlah 50 orang peseerta tersebut adalah hasil penjaringan dari tingkat kecamatan yang sudah berlangsung sebelumnya. Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh Kadisdikpora Kabupaten Karangasem yang di wakili oleh Kabid Dikdas. 
Selama kegiatan para peserta seleksi akan di karantina dan mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari para Pembina Olimpiade MIPA SD Kabupaten Karangasem. Selama kegiatan berlangsung para peserta mengikuti acara dengan semangat dan antusias dimana proses pembelajaran berlangsung dari pukul 08.00 hingga Pukul 20.00 WITA.  
Para peserta mendapat layanan akomodasi penuh selama kegiatan yang ditanggung sepenuhnya dari anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem.  
Dari 25 calon peserta tersebut akan dipilih 7 besar yang akan berlaga di tingkat propinsi dimana pelaksanaannya akan dimulai tanggal 21 Maret 2013.
Date: Minggu, 17 Maret 2013

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL


         Pendidikan adalah investasi peradaban, itulah ungkapan yang menjadi dasar bagi pengembangan kualitas hidup manusia Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu motor penggerak sekaligus sebagai filter bagi perkembangan kehidupan manusia Indonesia. Seperti diungkapkan Dedi Supriadi (2004) bahwa pendidikan adalah alternatif utama untuk membangun kualitas masa depan bangsa. Karena dengan pendidikan, prestasi dan keunggulan daya saing di era global saat ini akan mudah dirancang dan kemudian bisa diwujudkan secara realistis. Berdasarkan pernyataan tersebut, sudah jelas bahwa maju dan berkembangnya tatanan kehidupan sosial masyarakat suatu sebuah negara ditentukan oleh kualitas pengelolaan pendidikannya.
            Fungsi pendidikan menurut Abdul Munir Mulkhan (2002) ialah pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dengan adanya perkembangan teknologi dan pola hidup dari masyarakat saat ini, pendidikan juga dituntut untuk selalu mengembangkan konsep-konsep pembelajaran dan pendidikan agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tingginya angka putus sekolah, biaya pendidikan yang belum mampu dijangkau oleh semua lapisan masyarakat merupakan beberapa hal atau pekerjaan rumah bagi pengelola pendidikan baik secara makro maupun mikro. Jika pendidikan dikembangkan masih menggunakan cara-cara yang kurang inovatif, maka yang terjadi bukan peningkatan kompetensi atau kemampuan SDM, melainkan kemerosotan dunia pendidikan. Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan ketika pendidikan mengalami kemunduran maka pola kehidupan masyarakat akan menjadi tidak mempunyai arah yang jelas.
           Pendidikan sebagai sebuah sistem, menurut Dwi Siswoyo (2008: 45) terdiri dari tiga komponen sentral, yaitu peserta didik, pendidik, dan tujuan pendidikan. Pada proses pendidikan terdapat interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari tujuan bangsa Indonesia yang terdapat pada pembukaan UUD 1945 alinea 4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga pengelolaan pendidikan sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang dahulu masih menggunakan sistem sentralisasi (kebijakan terpusat) mengakibatkan pemerataan dan perluasan akses menjadi terhambat atau tidak optimal. Sehingga ketika susunan dan pola kehidupan masyarakat berubah, pengelolaan pendidikan hakikatnya juga mengalami perubahan yaitu beralih menjadi desentralisasi. Pada pola desentralisasi, kebijakan pendidikan yang berasal dari pemerintah pusat, dijadikan sebagai induk atau acuan bagi pengelola pendidikan di setiap daerah.
                   Pengelolaan pendidikan pada satu daerah tentunya berbeda dengan yang lain, akan tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan dasar bagi subyek sekaligus obyek pendidikan. Pendidikan sebaiknya disesuikan dengan pilar pembangunan pendidikan yang termuat pada Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014, yakni ketersediaan, keterjangkauan, kualitas atau mutu dan relevansi, kesetaraan, serta kepastian pada layanan pendidikan. Pengelolaan pendidikan sebaiknya memberikan jaminan bahwa setiap daerah mampu menyelenggarakan atau menyediakan pendidikan bagi masyarakatnya. Keterjangkauan dimaksudkan pada aspek semua lapisan masyarakat mampu menerima atau menikmati layanan pendidikan. Kualitas pendidikan yang diberikan harus mampu menjamin kualitas input, output, serta outcomes dari seluruh proses pendidikan. Kesetaraan dimaksudkan tidak ada diskriminasi antar golongan maupun jenis dalam mendapatkan layanan pendidikan. Hal ini sesuai atau sejalan dengan fenomena perubahan pola hidup sosial masyarakat, yang pada masa dahulu masih ada perbedaan aspek ras serta jenis dalam pemberian layanan pendidikan. Kepastian dimaksudkan dengan jaminan pemerintah tentang sistem pendidikan atau pengelolaan pendidikan mendapatkan kepastian untuk dapat dilaksanakan secara penuh dan berkesinambungan.
             Pada bagian akhir, perlu adanya kemampuan untuk menjamin mutu pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ketika pengelolaan pendidikan tidak disesuaikan dengan pola kebutuhan masyarakat, maka pendidikan menjadi kurang bermakna bagi masyarakat.

Jumat, 22 Maret 2013

Pelajar Menyabung nyawa Demi Sekolah

Pelajar Menyabung Nyawa PendidikanPESISIR SELATAN, KOMPAS.com – Puluhan pelajar dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang tinggal di Jorong Lambung Bukik, Nagari Koto Nan Tigo Utara Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terpaksa menyeberangi sungai setiap hari. Hal itu mereka lakukan karena ketiadaan infrastruktur jembatan sebagai sarana untuk menyeberang secara aman dan cepat. Sementara lebar Batang (Sungai) Surantih mencapai lebih dari 20 meter dengan arus yang relatif deras meskipun kedalaman sungai rata- rata 50 sentimeter jika tidak terjadi banjir.
Jika hujan deras dan permukaan Batang Surantih meninggi, para pelajar itu terpaksa membatalkan keinginan untuk bersekolah. Sebaliknya, jika saat pulang sekolah air sungai itu meninggi, para pelajar terpaksa menunggu di Nagari Kayu Gadang yang berada di seberang Jorong Lambung Bukik dan terpisah oleh aliran deras Batang Surantih. Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit, yang dikonfirmasi Kompas, Senin (12/11), mengakui bahwa pihaknya belum mengetahui di mana lokasi Jorong berada. ”(Dinas) Pekerjaan Umum nanti akan saya suruh lihat. Jika memungkinkan, akan kita mulai pembangunan jembatan pada tahun 2013,” katanya. Kondisi serupa terjadi di Sungai Cipatujah di Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Setiap hari anak-anak menyeberangi sungai yang lebarnya mencapai 32 meter.

Sudah 3 orang hanyut
Dari pantauan Kompas, Senin, sejumlah pelajar tampak menyeberangi sungai dengan cara berombongan. Mereka kebanyakan adalah siswa SD. Arus sungai yang deras membuat pelajar yang masih kecil mesti diawasi oleh sejumlah rekan mereka yang lebih senior. Sebut saja Wanda (12) dan Rika (12) yang mengawal adik-adik kelasnya dalam dua rombongan terpisah.
Sumber: Kompas.com

Waspadai Calo UN



           Seluruh siswa, baik SD, SMP maupun SMA saat ini dituntut untuk mempersiapkan diri dengan matang guna menghadapi UN yang sebentar lagi tiba. Bagi sebagian siswa UN merupakan momok menakutkan. Karena di sinilah nasib mereka ditentukan. Lulus dan tidaknya siswa sangat bergantung pada persiapan yang dilakukan.

Begitu pentingnya UN bagi masa depan siswa, tak jarang cara apa pun akan ditempuh mereka untuk bisa lulus. Salah satu cara ditempuh adalah membeli kunci jawaban ujian dari calo UN.

Harus diakui bahwa dalam setiap pelaksanaan ujian sering muncul oknum tidak bertanggung jawab yang mengaku bisa memberikan kunci jawaban soal ujian. Kehadiran oknum calo UN tersebut tentu sangat merugikan para siswa. Bukan hanya kerugian materi, keberadaan calo UN juga akan membuat siswa kurang percaya diri dalam menghadapi ujian.

Karena itu, bagi siswa dan orang tua diharapkan selalu waspada jika bertemu dengan oknum yang mengaku bisa memberikan kunci jawaban UN. Bisa dipastikan informasi yang mereka bawa adalah bohong. Karena kunci keberhasilan lulus ujian nasional bukan terletak pada calo, melainkan dari siswa.
 

Ditindak Tegas
Tidak bisa kita pungkiri bahwa keberadaan oknum calo sering membuat lengah siswa dan orang tua. Apalagi bagi mereka yang berpikiran pendek dan memiliki persiapan kurang maksimal dalam menghadapi ujian. Akhirnya jalan yang ditempuh adalah membeli kunci jawaban kepada calo UN yang tingkat kebenarannya sangat diragukan.

Untuk menghindari dampak negatif akan keberadaan calo UN, langkah terbaik yang bisa diambil adalah memberikan pengertian kepada orang tua ataupun siswa agar tidak mudah terpengaruh dan percaya kepada calo UN. Khusus kepada siswa pihak sekolah dan guru diharapkan mampu memberikan motivasi agar mereka percaya diri dalam menghadapi ujian.

Di samping itu, pemerintah harus bertindak tegas kepada para calo UN. Jika ditemukan dan terbukti menjadi calo, oknum tersebut harus diberi sanksi setimpal. Misalnya dihukum penjara. Hal itu dilakukan guna memberikan efek jera kepada pelaku serta oknum yang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.

RESOURCE : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/03/17/140267/Waspadai-Calo-UN-

Beberapa Definisi Pendidikan

Pengantar Pendidikan - Beberapa Definisi Mengenai Pendidikan

Beberapa definisi mengenai pendidikan dapat dikemukakan di bawah ini :

  • M.J. Langeveld (1995) :

Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan. 
Pendidikan ialah usaha menolong anak untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya, agar bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggung jawab secara susila. 
Pendidikan adalah usaha mencapai penentuan-diri-susila dan tanggung jawab.

  • Stella van Petten Henderson :
Pendidikan merupakan kombinasai dari pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial. Kohnstamm dan Gunning (1995) : Pendidikan adalah pembentukan hati nurani. Pendidikan adalah proses pembentukan diri dan penetuan-diri secara etis, sesuai denga hati nurani.

  • John Dewey (1978) :
Aducation is all one with growing; it has no end beyond itself. (pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan; pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya).

  • H.H Horne :
Dalam pengertian luas, pendidikan merupakan perangkat dengan mana kelompok sosial melanjutkan keberadaannya memperbaharui diri sendiri, dan mempertahankan ideal-idealnya.

  • Encyclopedia Americana (1978) :
Pendidikan merupakan sebarang proses yang dipakai individu untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau mengembangkan sikap-sikap ataupun keterampilan-keterampilan.
Pendidikan adalah segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu.

            Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat kita kita simpulkan bahwa pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia ke dunia peradaban. Pendidikan juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan bimbingan otentik, agar anak belajar mengenali jatidirinya yang unik, bisa bertahan hidup, dan mampu memiliki, melanjutkan-mengembangkan warisan-warisan sosial generasi yang terdahulu.
 
 
Anda sedang membaca artikel tentang Beberapa Definisi Mengenai Pendidikan, kami sadar artikel Beberapa Definisi Mengenai Pendidikan masih banyak kekurangan. Besar harapan kami semoga artikel ini Beberapa Definisi Mengenai Pendidikan dapat memberikan manfaat bagi kita semua

Unsur-unsur Pendidikan


      Artikel Bagus kali akan membahas unsur-unsur pendidikan, di sini akan dikupas secara tuntas tentang unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan. Berikut unsur -unsur pendidikan secara lengkap.

Dalam proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1)   Subjek yang dibimbing (peserta didik).
       Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya
2)  Orang yang membimbing (pendidik).
        Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/organisasi.
3)   Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
          Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanifulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
4)  Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. 
             Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
5)  Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
        Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan.
6)  Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
          Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
7)  Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
       Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
 

Anda sedang membaca artikel tentang Unsur-Unsur Pendidikan, kami sadar artikel Unsur-Unsur Pendidikan masih banyak kekurangan. Besar harapan kami semoga artikel ini Unsur-Unsur Pendidikan dapat memberikan manfaat bagi kita semua

Permasalahan dalam Pendidikan

         Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya permasalahan pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita : 

1. Kurikulum 
          Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh

2. Biaya 
        Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.

3. Tujuan pendidikan 
         Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).

4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang 
          DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang.

5. Kontoversi diselenggaraknnya UN 
          Kedua, aspek yuridis. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

6. Kerusakan Fasilitas 
          Sekolah Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen. Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
 
        Demikianlah masalah pendidikan diblog saya ini yg saya ambil dari beberapa sumber pendidikan, semoga bermanfaat..:.)